Sabtu, 06 November 2010

Perkembangan Filsafat Islam Masa Pencerahan dan Masa Ibnu Rushd

Era Pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respons yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renaisans dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik.

Dalam artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi sangat jelas. Pada hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990).

Seperti bisa dilihat, selain menekankan pada kata keluarnya (ausgang), Kant juga memberi penekanan pada ketidakmatangan (unmündigkeit) serta determinasi dan keberanian (entschließung und mut) yang merefleksikan dua karakter berbeda dari sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan: keberanian.

Ibn Rushd dan Pencerahan

Ibn Rushd adalah model bagi independensi akal-pikiran sekaligus model bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga dalam institusi agama. Keberaniannya mengkritik kemapanan otoritas agama menginspirasi orang-orang Eropa abad ke-13 dan ke-14 melakukan hal yang sama kepada kuasa gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan mereka.

Ibn Rushd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di Eropa. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti Islam di Spanyol. Ia hidup di penghujung “era keemasan Islam”, sekitar satu abad sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada, benteng terakhir umat Islam di Spanyol, runtuh (1492).

Ibn Rushd hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang semakin antipati terhadap pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur dunia Islam (masyrik), filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama konservatif yang merasa terancam dengan dominasi “ilmu-ilmu klasik” (’ulum al-awail) yang datang dari Yunani. Para teolog yang didominasi kaum Ash’ariyah menyerang kecenderungan teologi rasional, khususnya yang dimotori kaum Mu’tazilah.

Hidup di belahan barat (magrib) yang cukup jauh terpisah dari kemurungan peradaban Islam, Ibn Rushd melihat ada ketidakberesan dari perilaku kaum Muslim di Timur. Pada mulanya ia turut berempati kepada para ulama dan teolog yang berusaha “menghidupkan ilmu-ilmu agama” (ihya ’ulum al-din) sebagai respons dari gelombang Helenisme yang dimotori para filsuf Muslim dan kaum Mu’tazilah.

Simpatinya kepada Abu Hamid al-Ghazali (wafat: 1111) disalurkannya dengan membuat sebuah talkhis (ringkasan) al-Mustashfa, salah satu karya penting al-Ghazali dalam bidang ushul fiqh. Namun, belakangan ia menyadari ada yang tidak beres dari al-Ghazali dan para teolog yang membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan filsuf Muslim lainnya.

Sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf Andalusia, kepada Khalifah Abu Yusuf Ya’qub, penguasa Marrakesh yang dikenal menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya kepada Ibn Rushd tentang pandangan para filsuf Yunani mengenai penciptaan alam. Ibn Rushd begitu malu dan gundah karena ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Karena peristiwa inilah kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara lebih serius (Renan, Averroès et L’averroïsme, 1986: 16).

Ibn Rushd menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rushd sebagai model pencerahan, tiga bukunya-Fashl al-Maqal, al-Kashf ’an Manahij al-Adillah dan Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180)-merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.

Pikiran-pikiran Ibn Rusyd telah berhasil membuka cakrawala baru bagi dunia ilmu pengetahuan. Eksplorasi Ibn Rusyd terhadap dunia ini telah mengundang animo besar-besaran bagi kalangan pelajar dan sarjana, baik di dunia Islam maupun Barat, untuk mentransfer pikiran-pikirannya. Transformasi pandangan-pandangan Ibn Rusyd dapat diakses melalui karya-karyanya dan perkuliahan di berbagai universitas, di antaranya Universitas Cordoba, Sevilla, Malaga, Granada, dan Samalanca, diAndalusia. Para pelajar dari Eropa berduyun-duyun untuk menimba ilmu di institusi-institusi tersebut. Kemudian mereka mengusung pola pikir Ibn Rusyd ke dataran Eropa, seperti di Universitas Padua, Bologna, Ferrara, dan Venice di Italia. Bahkan menurut Ernest Renan, karya-karya beliau diterjemahkan dan dicetak berulang-ulang di Eropa dan Latin.[1] Di Universitas Paris, Prancis, tidak kalah hebatnya, yakni mendatangkan tenaga edukasi secara khusus dari Andalusia untuk mengajarkan pola pikir Averroes.[2] Di universitas tersebut terdapat seorang guru besar yang membidangi komentar-komentar Ibn Rusyd, yaitu Siger de Brabant

Sarjana pertama yang ditengarahi mengusung pikiran Ibn Rusyd ke dunia Latin adalah Michael Scott, yang pada tahun 1230 M. menerjemahkan karyanya Commentary of the Sky and the Nature (komentar tentang langit dan alam) dan Commentary of the Soul (komentar tentang jiwa). Kemudian Hermann dari Jerman menerjemahkan buku Kulliyat, Colliget.[3] Gerakan Averroisme telah menancapkan pengaruh yang amat kuat di Barat hingga mampu menggulung doktrin Theologia Kristen Ortodok dan Augustinisme di zaman Skolastik, yang pada akhirnya melahirkan gerakan Renaissance.

Renaissnce berarti kelahiran kembali, yakni upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Zaman Renaissance sering disebut pula zaman Humanisme,[4] yakni zaman di mana manusia diangkat dari zaman pertengahan. Ciri khas yang melekat pada zaman ini adalah humanisme, individualisme, lepas dari agama, empirisme, dan rasionalisme.[5] Di zaman ini pandangan-pandangan Ibn Rusyd sangat digandrungi, baik yang ditanformasikan lewat karya-karyanya maupun melalui komentar-komentar para muridnya.

Menyinggung masalah kebenaran, Ibn Rusyd percaya pada apa yang disebut "kesatuaan seluruh kebenaran," yang merupakan satu-satunya cara di mana para filosof Muslim bila menjustifikasi pemburuan filosofis mereka, meredakan amarah para teologis, dan memuaskan hasrat pikiran oleh koherensi internal."[6] Akibatnya, kebenaran filosofis yang dicapai melalui penyelidikan rasional pada dasarnya sama dengan kebenaran agama yang didasarakan pada wahyu Ilahi. "Ibn Rusyd," demikian Mahdi berkata, " menafsirkan identitas hukum Ilahi dan filsafat manusiawi untuk maksud identitas hukum Ilahi dan filsafat manusia melalui tujuan mereka,"[7] yaitu "berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan dan kebenaran."[8] Dalam kitabnya Fashl al-Maqal, Ibn Rusyd mengatakan: "Jika syariah adalah suatu kebenaran dan anjuran untuk menyelidiki (segala yang ada) yang mengarah pada pengetahuan tentang kebenaran tersebut, maka umat Islam akan mengetahui dengan pasti bahwa penyelidikan demostratif tidak akan menciptakan kontradiksi apapun dengan apa yang syariah nyatakan, karena kebenaran tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran, tetapi satu sama lainnya saling menjadi saksi."[9]

Peran Averroisme

Dampak langsung dari gagasan pencerahan Ibn Rushd bisa ditelusuri pada mazhab pemikiran yang dikenal dengan sebutan Averroisme. Istilah itu mulai digunakan di Eropa sekitar tahun 1270, atau 72 tahun setelah Ibn Rushd meninggal dunia. Kata yang digunakan adalah averroistae yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk sinisme untuk merujuk para pengikut dan pengagum Ibn Rushd. Pada tahun-tahun ini, Universitas Paris adalah pusat ilmu pengetahuan yang memiliki gravitasi luar biasa bagi sarjana Eropa. Roger Bacon, filsuf Inggris, berada di universitas ini sekitar tahun 1240-1248; Albert Agung mengajar antara tahun 1242-1248; Bonaventura dari tahun 1248-1255; dan Thomas Aquinas antara 1252 dan 1259. Sebagian besar para pengajar di universitas ini adalah pengikut paham atau simpatisan Averroisme (Heer, The Medieval World, 1962: 213).

Pada Desember 1270, Uskup Stephen Tempier mengeluarkan pengumuman tentang ajaran-ajaran heretik. Siapa saja yang mengikuti ajaran ini harus dikirim ke pengadilan inkuisisi dan dihukum keras. Beberapa ajaran yang dituduh heretik adalah doktrin tentang jiwa dan intelek yang diajarkan Ibn Rushd serta doktrin Aristoteles tentang Tuhan.

Dalam deklarasi itu, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap terlarang. Namun, pada Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan dengan memberikan 219 daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya harus dihukum seberat-beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah kepada beberapa nama, seperti Siger de Brabant (wafat: 1282), pengikut fanatik Ibn Rushd dan pendiri semacam “Jaringan Averroisme Paris” dan Boëthius de Dacia (wafat: 1290), mahasiswa filsafat yang aktif dalam jaringan itu.

Siger, Boëthius, dan kebanyakan orang yang setuju dengan ke-219 ajaran yang didaftar Tempier adalah pengikut Averroisme. Sedianya daftar itu untuk menjaring para pemikir liberal yang dianggap “telah meresahkan masyarakat Paris”. Namun, Tempier agaknya terlalu banyak mendaftar “barang-barang haram” sehingga beberapa petinggi gereja yang diam-diam mengagumi Ibn Rushd juga terkena imbasnya, termasuk Thomas Aquinas, pemimpin Ordo Dominikan dan filsuf terbesar Abad Pertengahan.

Averroisme memang tidak melulu terkait dengan “intelektual liberal”. Dalam sejarah filsafat Barat, Averroisme juga dikaitkan dengan pemikiran filsafat keagamaan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Averroisme Yahudi” dan “Averroisme Kristen”. Averroisme Yahudi berkembang pesat di Andalusia. Para pengikut Averroisme Yahudi umumnya memandang Ibn Rushd sejajar dengan filsuf besar mereka: Musa ben Maymun atau Maimonides (wafat: 1204) dan Abraham ben Ezra (wafat: 1167) yang kebetulan keduanya hidup di Andalusia sezaman dengan Ibn Rushd. Tokoh-tokoh penting Averroisme Yahudi adalah Isaac Albalag (akhir abad ke-13) yang menerjemahkkan Maqasid al-Falasifah, karya Imam al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn Caspi (lahir: 1279), Moses Narboni (wafat: 1362), dan Elijah Delmedi (wafat: 1493), pengikut Averroisme Yahudi terakhir.

Baik Averroisme Yahudi maupun Averroisme Kristen menganggap Ibn Rushd telah berjasa menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi momok bagi kaum agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal, filsafat dengan agama, para nabi dengan Aristoteles. Dalam karyanya, Fasl al-Maqal, yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa penting Eropa, Ibn Rushd menjawab semua persoalan ini dengan lugas.

Pertama-tama, kunci dari persoalan itu terletak pada persoalan genting lainnya yang lebih mendasar: apakah benar bahwa mempelajari filsafat itu haram? Untuk menjawab ini, Ibn Rushd memberikan hipotesis. Menurutnya, secara legal-fikih (syari’i) belajar filsafat itu punya beberapa kemungkinan: bisa dibolehkan (mubah), dilarang (mahdzur), dianjurkan (nadb), atau diharuskan (wajib)? Menurut Ibn Rushd, belajar filsafat hukumnya: wajib atau sunah (Fasl al-Maqal, 1968: 27).

Bagi yang mengikuti perkembangan filsafat Islam, jawaban Ibn Rushd itu jelas-jelas merupakan tonjokan keras bagi para fuqaha dan ahli hadis yang memberikan fatwa haram atau minimal makruh mempelajari filsafat. Bagi Ibn Rushd, belajar filsafat adalah wajib, atau paling kurang sunah. Argumen filsuf Cordova itu adalah ayat-ayat Al Quran. Pertama, surah al-Hasyr (59) ayat 2 yang menegaskan wajibnya manusia menggunakan qiyas ’aqli (silogisme) dalam melihat berbagai persoalan; kedua dan seterusnya adalah surah al-A’raf (7) ayat 184, surah al-An’am (6) ayat 75, dan surah Ali ’Imran (3) ayat 191 yang semuanya menganjurkan manusia agar mempelajari alam raya (mawjudat).

Berdasarkan ayat-ayat Al Quran itu dan berdasarkan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada “pengetahuan yang lebih sempurna” (atamm al-ma’rifah), Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa “filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama” (Fasl al-Maqal, 1968: 58). Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama.

Membawa pulang Averroisme

Ibn Rushd adalah orang Islam yang lahir di Barat (magrib). Ia hidup di Barat. Menuliskan pemikiran-pemikirannya di Barat dan meninggal dunia di Barat. Setelah dia wafat, pemikirannya dihidupkan oleh orang-orang Barat. Ia tidak dipedulikan oleh orang-orang Islam di Timur (masyrik). Sejak Ibn Rushd meninggal, tradisi rasionalisme dalam filsafat Islam mati. Ia kerap disebut sebagai filsuf besar terakhir yang dimiliki umat Islam.

Benar, ada beberapa tokoh filsuf yang muncul setelah Ibn Rushd, seperti Mir Damad (wafat: 1631), Mulla Sadra (wafat: 1640), dan Mulla Hadi Sabzawari (wafat: 1910) yang kebetulan semuanya orang Iran. Namun, kerangka besar filsafat mereka adalah ’irfani yang lebih dekat dengan tradisi gnostik ketimbang agnostik (gnostik harus dibaca sebagai tradisi nonrasional-bukan irasional-yang lebih mengandalkan refleksi intuitif ketimbang nalar burhani sebagaimana yang digunakan Ibn Rushd, sementara agnostik harus dipahami sebagai tradisi rasional dan bukan ateis sebagaimana selama ini disalahpahami. Secara harfiah agnostik berarti “ragu-ragu” atau “tidak yakin”. Filsafat dibangun berdasarkan keragu-raguan dan ketidakyakinan.

Di luar Iran dan secara umum di dunia Suni, tak ada lagi filsuf tercerahkan yang lahir setelah Ibn Rushd. Sebagian orang mengandaikan Ibn Taymiyyah (wafat: 1328) sebagai calon, sedangkan yang lainnya menunjuk Fakhruddin al-Razi (wafat: 1209), Nasiruddin al-Tusi (wafat: 1274), bahkan Ibn Arabi (wafat: 1240). Saya cenderung berpendapat, sampai awal abad ke-20, tak pernah ada kaum Muslim yang serius mencontoh dan meneruskan ajaran dan semangat Averroisme.

Ibn Rushd dan semangat Averroisme baru mendapat perhatian umat Islam awal abad ke-20. Berterimakasihlah kepada gerakan nahdah yang bibit-bibitnya disemai oleh tokoh-tokoh semacam Rif’at al-Tahtawi (wafat: 1873), Muhammad Abduh (wafat: 1905), dan Qassim Amin (wafat: 1908) di Mesir; kepada Sayyid Ahmad Khan (wafat: 1898) dan Chiragh `Ali (wafat: 1895) di India; juga kepada penulis Kristen Arab yang begitu fasih berbicara tentang kemajuan dan pencerahan, seperti Shibli Shumayyil (wafat: 1917), Farah Antun (wafat: 1922), Georgie Zaidan (wafat: 1914), Nicola Haddad (wafat: 1954), dan Salama Musa (wafat: 1958). Setelah lebih dari 700 tahun, Ibn Rushd diabaikan, gerakan “Averroisme Arab” abad ke-20 membuktikan bahwa ada akhir untuk sebuah penantian yang panjang. Ibn Rushd bisa diterima oleh bangsanya sendiri. Averroisme bisa dibawa pulang.

Averroisme abad ke-20 bisa disebut sebagai “Averroisme Arab” atau “Averroisme Islam”. Sepintas istilah ini tampak redundant karena Ibn Rushd adalah orang Arab dan seorang Muslim. Namun, penyebutan ini penting untuk membedakannya dari ketiga jenis Averroisme yang pernah ada: Latin, Yahudi, dan Kristen. Selain itu, sepanjang sejarah tak pernah kita menemukan seorang Muslim atau Arab menjadi pengikut setia Ibn Rushd. Jadi, kata Islam atau Arab itu penting untuk menunjukkan bahwa Ibn Rushd akhirnya memiliki pengikut dari bangsanya sendiri.

Tentu saja, tanpa harus dikatakan, Averroisme modern tidaklah persis sama dengan Averroisme Latin atau Averroisme Yahudi. Zaman sudah berubah dan isu-isu filsafat-keagamaan yang menjadi concern manusia tak lagi sama. Jika dulu para pengikut Averroisme berurusan dengan “kebenaran ganda” karena memiliki persoalan dengan kuasa gereja, para pengikut Averroisme modern berurusan dengan isu semacam “kebebasan berpikir”, “pluralisme”, dan “demokrasi” karena mereka memiliki persolan serius dengan lembaga-lembaga keagamaan (MUI, Dewan Dakwah, al-Azhar, Dar al-Ifta) yang memiliki semangat sama dengan para penguasa gereja abad ke-13 dan ke-14.

Averroisme modern adalah replikasi dari semangat Averroisme Latin yang menjadi cikal-bakal gerakan Renaisans dan Pencerahan di Eropa. Para Averois modern, baik Islam maupun Arab, adalah orang-orang yang menginginkan pencerahan dalam masyarakat mereka, sebuah “pencerahan yang mencerahkan” persis seperti Immanuel Kant, tokoh terbesar Era Pencerahan, mendefinisikan kata itu.

Penutup

Gerakan Averroism telah menancapkan pengaruh yang amat kuat di Barat hingga mampu menggulung doktrin Theologia Kristen Ortodok dan Augustinisme di zaman Skolastik, yang pada akhirnya melahirkan gerakan Renaissance. Di antara tokoh atau pemikir Barat yang terpengaruh oleh pemikiran filisof Islam adalah Francis Bacon, Kepler. Nicolai Copernicus , dan banyak lagi yang lainnya.

Suatu cara pandang akan punya pengaruh yang diharapkan jika berimplikasi dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit atau dikembangkan serta ditindaklanjuti dalam gerakan atau kegiatan yang relevan untuk menunjang perspektif tersebut. Dalam hal ini metode berpikir yang telah ditawarkan secara rasional dan sistematis telah berimplikasi secara faktual dan aktual dalam dunia pendidikan, khususnya pada proses belajar-mengajar.

Daftar Pustaka

Ahnad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes): Filosof Islam Terbesar di Barat. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

al-'Irāqī, 'Athīf. al-Manhaj al-Naqd fī Falsafah Ibn Rusyd. Cet. II; Kairo: Dār al-Ma'ārif, 1984.

al-Nassār, 'Alī Samī. Manāhij al-Bahts 'inda Mufakkir al-Islāmī. Cet. I; Mesir: Dār al-Fikr al'Arabī, t.th..

Amin, Miska Ahmad. 1983. Epistimologi Islam: Pengantar filsafat Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: UI Press, Jakarta1983,1983.

Bertens, K. Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1981.

Denny, Frederick M. "Islamic Ritual, Perspectives and Theories,”, dal;am Richard Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson: The University of Arizona Press,1985.

Donaldzen, D.L. Studies in Muslim Ethics. London: t.p., 1953.

Eickelman, D. "The Study of Islam in Local Contexts,", dalam Contributions to Asian Studies 17, 1982.

Fakhry, Madjid. A Histoty of Islamic Philosophy. cetakan cet. Kedua., New York London: Columbia University Press, and Longman, 1983.

Farūkh, Umar. Tārīkh al-Fikr al-'Arabī. Bairut: t.p., 1962.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Harun, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Hitti, Philip K. History of The Arabs. London: Macmillan, 1970.

Leaman, Oliver. An Introduntion to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge:

Cambridge University Press, 1985.

------- . Averroes and his Philosophy. Oxford: Clarendon Press, 1988..

Madkūr, Ibrāhīm. Fī al-Falsafah al-Islāmiyyah. juz II, Mesir: Dār al-Ma'ārif,

t.t..

Mahdi, Muhsin. dalam M.E. Marmura (ed.). Islamic Teology and Philosophy. Albany: State University of New York Press, 1984.

Martin, Richard. "Islamic Textuality in Light of Poststructuralist Criticism," dalam A Way Prepared: Essays on Islamic Culture in Honor of Richard Bayly Winder. New York: New York University Press, 1988.



[1] Zainal Abidin Ahnad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes): Filosof Islam Terbesar di Barat

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 151.

[2] Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan, 1970), 555

[3] Zainal Abidin Ahnad, Riwayat Hidup, 146.

[4] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Filsafat (Jakarta: Rineha Cipta, 1994), 98-99.

[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James ( Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1990), 109-111

[6] Madjid Fakhry, A Histoty of Islamic Philosophy, cet. kedua (New York London: Columbia

University Press, and Longman, 1983), 277.

[7] Muhsin Mahdi, dalam M.E. Marmura, Islamic Teology and Philosophy (Albany: State

University of New York Press, 1984), 192.

[8] Oliver Leaman, An Introduntion to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 170.

[9] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa al-Syariah, dalam Kitab Falsafah Ibn
Rusyd, cet. kedua, tt, 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar