BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Merebaknya isu-isu moral di kalangan remaja seperti penggunaan narkoba, tawuran pelajar, pornografi, perkosaan, merusak milik orang, merampas, menipu, mencari bocoran soal ujian, perjudian, pelacuran, pembunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena sudah menjurus kepada tindak kriminal. Kondisi ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku beserta korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa. Apalagi jika komunitas suatu sekolah terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan ras. Berbagai konflik akan dengan mudah bermunculan. Jika kondisi semacam ini tidak di atasi maka akan timbul konflik-konflik yang lebih besar. Akibatnya masalah moral, etika akan terabaikan begitu saja. Padahal tujuan dari pendidikan di Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang mempunyai kepribadian, beretika, bermoral, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian tujuan pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang disarikan dari UU No 20. tahun 2003, bab II, pasal 3, bahwa manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab belum terwujud. Untuk itu perlu ditanamkan sikap jujur, saling menghargai, bertoleransi dalam diri setiap siswa, karena sikap ini mempunyai dampak luas bagi kehidupan orang lain dalam masyarakat dan negara. Dampak yang luas dan serius ini dapat dirasakan sejak Juli 1997 hingga sekarang. Krisis yang berkepanjangan tersebut tidak hanya krisis moneter dan ekonomi saja, tetapi sudah menjadi krisis multidimensi, yaitu menyentuh banyak bidang, termasuk krisis kepemimpinan, kepercayaan, dan moral (Indah dkk, 2003:14). Sikap jujur, bertoleransi, berdisiplin akan menjadi budaya masyarakat bangsa apabila perilaku religius menjadi kebiasaan sehari-hari. Perilaku religius akan mendekatkan insan manusia terhadap Tuhannya sehingga dapat meningkatkan iman dan takwa.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah: 1. Bagaimanakah prilaku religieus yang sebenarnya? 2. Dampak apa sajakah dari perilaku religius yang tampak dalam pembentukan etika siswa? 3. Bagaimana proses internalisasi norma dalam kelompok?
BAB II PEMBAHASAN
Perilaku religius merupakan perilaku yang dekat dengan hal-hal spiritual. Perilaku religius merupakan usaha manusia dalam mendekatkan dirinya dengan Tuhan sebagai penciptanya. Religiositas merupakan sikap batin seseorang berhadapan dengan realitas kehidupan luar dirinya misalnya hidup, mati, kelahiran, bencana banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan sebaginya (Indah dkk, 2003:17). Sebagai orang yang ber- Tuhan kekuatan itu diyakini sebagai kekuatan Tuhan. Kekuatan tersebut memberikan dampak positif terhadap perkembangan hidup seseorang apabila ia mampu menemukan maknanya. Orang mampu menemukannya apabila ia berani merenung dan merefleksikannya. Pembelajaran moral yang dapat dilakukan menggunakan model terintegrasi dan model di luar pengajaran. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik antara guru sebagai tim pengajar dengan pihak-pihak luar yang terkait. Nilai-nilai religiositas ini dapat diajarkan kepada siswa melalui beberapa kegiatan yang sifatnya religius. Kegiatan religius akan membawa siswa pada pembiasaan berperilaku religius. Perilaku religius akan menuntun siswa untuk bertindak sesuai moral dan etika.
Antara moral dan etika sebenarnya tidak sama. Moral adalah hal yang mengatakan bagaimana kita hidup. Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik (Suseno, 2000:14-17) Moral dan etika dapat dipupuk dengan kegiatan religius. Kegiatan religius yang dapat diajarkan kepada siswa di sekolah dapat dijadikan sebagai pembiasaan, diantaranya: (1) berdoa atau bersyukur, (2) melaksanakan kegiatan di mushola (3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya, (4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya. Berdoa merupakan ungkapan syukur secara langsung kepada Tuhan. Ungkapan syukur dapat pula diwujudkan dalam relasi seseorang dengan sesama, yaitu dengan membangun persaudaraan tanpa dibatasi oleh suku, ras, dan golongan. Kerelaan memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman yang tidak seiman merupakan bentuk-bentuk penghormatan kepada sesama yang dapat dikembangkan sejak anak usia sekolah dasar. Ungkapan syukur terhadap lingkungan alam misalnya menyiram tanaman, membuang sampah pada tempatnya, dan memperlakukan binatang dengan baik.
Kegiatan lain yang dapat membentuk moral dan etika dari perilaku religius yaitu merayakan hari besar sesuai dengan agamanya. Untuk yang beragama Islam momen-momen hari raya Idul Adha, Isra Mikraj, Idul Fitri dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan iman dan takwa. Begitu juga bagi yang beragama Nasrani, perayaan Natal dan Paskah akan dapat dijadikan momen penting untuk menuntun siswa agar bermoral dan beretika. Sekolah juga dapat menyelenggarakan kegiatan keagamaan lainnya diwaktu yang sama untuk agama yang berbeda, misalnya kegiatan pesantren kilat bagi yang beragama Islam dan kegiatan rohani lain bagi yang beragama Nasrani maupun Hindu. Kegiatan religius lainnya dapat juga ditumbuhkan melalui kegiatan berkemah. Kemah religius misalnya dengan menghadirkan dai cilik bagi yang beragama Islam dan mendatangkan buder bagi yang beragama Nasrani. Dengan demikian akan tumbuh toleransi beragama, saling menghargai perbedaan, sehingga dapat terjalin hubungan yang harmonis, tentram dan damai. Siswa akan merasakan indahnya kebersamaan dalam perbedaan. Mereka akan merasa bahwa semua adalah saudara yang perlu dihormati, dihargai, dikasihi, dan disayangi seperti keluarga sendiri.
Pada umumnya para ahli mengkaji aspek-aspek tersebut dengan pendekatan struktural formal. Piaget, Kohlberg, Selman, dan Fowler menguraikan tahap-tahap struktural formal perkembangan manusia. Kohlberg dengan menerapkan kriteria Piaget untuk menetapkan tahap struktural itu dalam uraian formalnya tentang tahap-tahap penalaran moral. Pendekatan genetis struktural Kohlberg membantu pendekatan teori kognitif struktural tahp-tahap perkembangan kepercayaan dari Fowler. Mereka membeda-bedakan antara struktural dan isi, dan lebih menggeluti cara formal pemberian arti, yakni pola umum seluruh operasi pengenalan dan penilaian. Perkembangan merupakan proses pembentukan dan transformasi sejumlah struktur penalaran atau penilaian yang berurutan. Suatu tahap sebagai salah satu sistem operasi-operasi pemiiran dan penilaian yang terintegrasi. Proses peralihan tahap meliputi seluruh perkembangan pribadi baik perasaan, pengertian, kehendak, dan daya-daya psikis lainnya. Pendekatan psikologi dapat memperkaya teori teori pendekatan kognitif stuktural, sehingga setiap tahap baru merupakan penambahan baru yang unik dalam bidang kemampuan kognitif, afektif, dan sosial. Di dalam kelompok sosial terdapat norma-norma kelompok sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku anggotanya pada berbagai situasi sosial. Norma-norma tersebut berkenaan dengan cara-cara tingkah laku yang diharapkan dari semua anggota kelompok dalam situasi-situasi yang berhubungan dengan kehidupan dan tujuan kelompok. Norma kelompok member pedoman mengenai tingkah laku mana dan sampai batas mana masih dapat diterima oleh kelompok dan tingkah laku anggota yang mana tidak diperbolehkan oleh kelompok. Sesungguhnya individu mematuhi norma-norma kelompok sebagai normanya sendiri sudah dialami sejak dini. Pada mulanya seorang anak mengidentifikasi dirinya dengan orang-orang tertentu seperti orang tua, juga dengan orang lain yang dianggap ideal seperti gurunya, kawannya, atau tooh-tokoh masyarakat yang ia kagumi (Monks, dkk., 1985; Gerungan, 1991). Lambat laun ia memperoleh kerangka norma dan pedoman hidup yang cukup luas. Perkembangan selanjutnya ia akan mengidentifikasi dirinya dengan norma-norma kelompok sosialnya. Ia mematuhi norma-norma kelompok tanpa dipaksa, dengan kesadaran sendiri ia mematuhi sebagai normanya sendiri. Maka ia telah menginternalisasikan norma-norma kelompoknya. Kelompok tempat ia mengidentifikasi dirinya disebut reference-group, yaitu kelompok yang norma-normanya, sikapnya, dan tujuan sangat ia setujui, ia ingin ikut serta, dalam arti bahwa ia senang kepada kerangka norma sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok tersebut. Dikatakan oleh Piaget bahwa internalisasi norma kelompok bukan merupakan suatu proses yang berlangsung secara otomatis. Proses internalisasi norma kelompok dapat berjalan dengan 2 cara yaitu; 1. Mengambil alih norma-norma yang sudah ada pada kelompok dengan cara mengidentifikasikan diri dengan kelompok (pembentukan norma yang heteronom), 2. Turut membentuk norma-norma baru dalam interaksi yang timbal balik dengan anggota kelompok lainnya (pembentukan norma yang otonom). Pembentukan norma yang otonom merupakan tujuan dari pendidikan moral. Siswa mengembangkan norma-norma baru karena adanya interaksi dengan orang lain. Pentingnya interaksi dalam kelompok sosial terletak pada kontinuitas, organisasi, dan kompleksitas stimulasi sosial kognitif yang dihadapkan kepada siswa. Bagi siswa yang di rumah dan lingkungannya tidak ada stimulasi intelektualnya, perlu adanya suatu lingkungan yang dapat memberikan stimulasi kognitif. Lebih-lebih bagi mereka yang berada ditengah-tengah kelompok, dimana salah satu agama, suku atau salah satu keadaan sosial ekonomi amat dominan, hendaknya diusahakan adanya kompleksitas sosial bagi setiap orang. Perkembangan mengarah kepada terciptanya equilibrium yang semakin besar dalam interaksi antara siswa dengan kelompok sosialnya (Duska & Whelan, 1975). Mutu lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang sangat signifikan kepada cepatnya perkembangan dan tingkatan perkembangan yang dicapai oleh seseorang (Kohlberg & Turriel, 1971). Hal ini dikarenakan prinsip yang memberi motivasi dalam perkembangan adalah equilibrium, artinya mencari jalan keluar dari konflik kognitif. Maka dari itu kelompok sosial yang secara intelektual miskin tidak akan memberikan motivasi bagi perkembangan moral, karena tidak akan ada konflik nilai yang menimbulkan kegoncangan equilibrium antara individu dengan masyarakatnya. Tetapi kalau siswa hidup di tengah-tengah kelompok sosial yang nilai dan norma-normanya beraneka ragam, tabarakan antara bermacam-macam pengaruh tidak dapat dihindarkan. Kelompok sosial seperti ini akan menciptakan disequilibrium yang esensial untuk perkembangan moral ( Duska & Whelan, 1975) Jelaslah bahwa perkembangan moral bukanlah suatu proses menanamkan macam-macam peraturan dan sifat-sifat baik, melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif, yang hal itu bergantung dari perkembangan kognitif dan rangsangan-rangsangan dari kelompok sosial (Kohlberg & Giligan, 1977).
Kohlberg lebih menekankan pentingnya norma-norma suatu lingkungan kelompok sebaya, yang ternyata begitu kuat mempengaruhi maju mundurnya proses perkembangan moral remaja (Cremers, 1995). Menurutnya, faktor-faktor penentu utama yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan penalaran moral, berupa jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlh peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain. Para ahli menganggap bahwa tahap-tahap moral menggambarkan urutan cara mengambil peran sosial dalam berbagai situasi sosial, dan karena itu mengandaikan bahwa faktor penetu lingkungan kelompok sosial terhadap proses perkembangan terletak pada kesempatannya untuk mengambil peran. Setelah mengkaji pera sosial sebagai latar yang memfasilitasi terjadinya perilaku moral, serta sumbangannya terhadap perkembangan moral, maka menurut penulis dalil yang menyatakan bahwa faktor-faktor penentu lingkungan sosial terhadap proses perkembangan moral adalah kesempatan untuk mengambil peran sosial terhadap proses perkembangan moral adalah kesempatan untuk mengambil peran sosial, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkembangan moral sebagai urutan dan peralihan tahap merupakan proses transformasi struktur-struktur kognitif yang berurutan. Perkembangan struktur tersebut tidak disebabkan oleh proses pematangan biologis. Perkembangan merupakan hasil interaksi antara tendensi-tendensi struktural organisme dan ciri-ciri struktural lingkungan sekitar. Siswa dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran bermoral yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau penalararan moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai etika (Selly Tokan, 1999). Artinya, ada kesatuan antara penalaran moral dengan perilaku moralnya. Dengan kata lainnya, betapapun bermamfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada penalaran moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral. Dengan demikian, suatu perilaku moral dianggap memiliki nilai moral jika perilaku tersebut belum dapat dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran dan penalaran yang bersifat otonom (Kohlberg, 1971). Perasaan moral lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dan perasaan moral perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku nayata. Tindakan-tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Lingkungan sosial yang kondusif memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran moral. Unsur penalaran, perasan, dan tindakan moral harus ada dan dikembangkan dalam pendidikan moral. Selain ketiga unsur tersebut, masyarakat pada umumnya menekan pentingnya peranan iman atau kepercayaan eksistensil dalam meningkatkan moralitas. Kecenderungan terjadinya disintregasi dan saling curiga di antar anak bangsa ini dikarenakan adanya krisis kepercayaan yang melanda bangsa ini. Dikatakan ada hubungan yang paralel antara tingginya moralitas seseorang dengan iman atau kepercayaan eksistensial. Dari uraian di atas, maka pendidikan moral selain mengembangkan ketiga unsur yaitu penalaran, perasaan, dan perilaku moral, juga mengembangkan iman atau kepercayaan yang eksistensial. Empat unsur ini sesuai dengan aspek-aspek yang terkandung dalam sistem budaya masyarakat. Jadi dikatakan bahwa pendidikan moral yang dapat berpijak pada karakteristik budaya sangat urgen diupayakan
2.2 Dampak Perilaku Religius dalam Menumbuhkan Etika Pembiasaan berperilaku religius di sekolah ternyata mampu mengantarkan anak didik untuk berbuat yang sesuai dengan etika. Dampak dari pembiasaan perilaku religius tersebut berpengaruh pada tiga hal yaitu: (1) Pikiran, siswa mulai belajar berpikir positif (positif thinking). Hal ini dapat dilihat dari perilaku mereka untuk selalu mau mengakui kesalahan sendiri dan mau memaafkan orang lain. Siswa juga mulai menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain. Mereka selalu terbuka dan mau bekerjasama dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras. 2) Ucapan, perilaku yang sesuai dengan etika adalah tutur kata siswa yang sopan, misalnya mengucapkan salam kepada guru atau tamu yang datang, mengucapkan t erima kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, berkata jujur, dan sebagainya. Hal sekecil ini jika dibiasakan sejak kecil akan menumbuhkan sikap positif. Sikap tersebut misalnya menghargai pendapat orang lain, jujur dalam bertutur kata dan bertingkah laku. (3) Tingkah laku, tingkah laku yang terbentuk dari perilaku religius tentunya tingkah laku yang benar, yang sesuai dengan etika. Tingkah laku tersebut di antaranya empati, hormat, kasih sayang, dan kebersamaan. Jika siswa sudah terbiasa hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kebiasaan religius, kebiasaan-kebiasaan itu pun akan melekat dalam dirinya dan diterapkan di mana pun mereka berada. Begitu juga sikapnya dalam berucap, berpikir dan bertingkah laku akan selalu didasarkan norma agama, moral dan etika yang berlaku. Jika hal ini diterapkan di semua sekolah niscaya akan terbentuk generasi-generasi muda yang handal, bermoral, dan beretika.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan tentang menumbuhkan etika melalui perilaku religius di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: a. Kegiatan religius di sekolah seperti: (1) berdoa atau bersyukur, (2) melaksanakan kegiatan di mushola (3) merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya, (4) mengadakan kegiatan keagamaan sesuai dengan agamanya akan membiasakan perilaku religius. Perilaku religius tersebut dapat menuntun siswa untuk bertingkah laku sesuai etika. b. Dampak dari pembiasaan perilaku religius dalam menumbuhkan etika yaitu terbentuknya sikap siswa dalam berpikir, berucap, dan bertingkah laku yang sesuai dengan etika.
3.2 Saran Adapun saran yang ingin penulis sampaikan bahwa Untuk membiasakan siswa berperilaku religius dan bertingkah laku sesuai dengan etika tidak mudah. Dalam hal ini diperlukan usaha yang kontinu, dan diperlukan kerjasama antara guru atau pendidik, orang tua, dan masyarakat.
Amir Syamsuddin, “Asas Umum Pemerintahan yang Baik”, Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 5 Tahun 2005, Jakarta Indah Ivonna dkk. 2003. Pendidikan Budi Pekerti. Yogyakarta. Kanisius. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas. Suseno-Franz Magnis. 2000. Etika Dasar. Yogyakarta. Kanisius Paul B. Horton & Chester LH, Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga, Jakarta Poerwadaminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 1230.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar