Jumat, 12 November 2010

“Hubungan Manusia dengan Agama”

1. Fitrah terhadap Agama

Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dapat dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh kegaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya. Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan ini membentuk sistem agama. Karena itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dalam agama. Gmbaran ini berlaku di seluruh dunia.

Kenyataan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat sejak dahulu hingga kini membuktikan bahwa hidup di bawah sistem keyakinan adalah tabiat yang merata pada manusia. Tabiat ini telah ada sejak manusia lahir sehingga tak ada pertentangan sedikit pun dari seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan. Agama-agama yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tersebut.

Susunan jagat raya yang demikian mengagumkan telah menggiring manusia kepada keberadaan Sang Pencipta yang Maha Sempurna.

Pendapat bahwa kemunculan alam ini sebagai sebuah proses kebetulan sangat tidak memuaskan hati manusia dari masa ke masa. Bahkan teori-teori tentang tentang peluang tidak dapat menjawab proses-proses penciptaan pada makhluk bersel satu sekalipun yang merupakan bagian yang amat kecil dalam penciptaan. Keberadaan Sang Pencipta lebih mendatangkan rasa tentram pada intelek manusia.

Watak-watak yang ada pada seluruh unsur alam ini baik yang mati maupun yang hidup lebih mengagumkan lagi. Proses terjadinya hujan, pergerakan planet-planet mengelilingi matahari, burung-burung yang mengudara dengan ringannya dan mengembara ke berbagai belahan dunia menempuh jarak puluhan ribu kilometer, keunikan lebah menata masyarakatnya dan lain-lainnya, seakan-akan mencerminkan sikap ketundukan kepada hukum universal yang diletakkan Sang Pencipta di alam raya ini. Oleh karena itu, penyembahan manusia kepada Pencipta adalah suatu bagian dari karekteristik penciptaan itu sendiri sebagaimana sebagaiman penciptaan satelit mengorbit pada planetnya. Allah SWT berfirman:

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah kepada-Nyabertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan ( juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalatnya dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S: An-Nuur, 24:41)

Keteraturan seluruh elemen alam ini membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan manusia pun memerlukan keteraturan tersebut. Penerimaan manusia pada sebuah sistem aturan hidup terus berlangsung dari masa ke masa. Agama adalah suatu bentuk sistem tersebut yang kehadirannya berlangsung sejak lama di berbagai sudut bumi dengan bentuk yang berbeda-beda. Kekhasan watak manusia memunculkan dimensi yang berbeda-beda pada hukum-hukumnya. Penyimpangan atas hukum alam menyebabkan kehancuran fisik dan penyimpangan pada hukum manusia yang dapat menyebabkan kehancuran fisik dan juga sosial.

Dimensi pahala dan dosa serta hari pembalasan terdapat pada hampir semua agama yang ada di dunia. Dimensi ini secara luas diterima manusia bahkan dalam cara berpikir modern sekalipun. Paham materialisme yang menganggap materi sebagai hakikat yang abadi di alam ini justru tidak mendapat tempat di dunia moden. Bertrand Russel menyatakan bahwa Teori Relativitas telah menjebol pengertian tradisional mengenai substansi lebih dahsyat dari argumen filosofi mana pun. Materi bagi pengertian sehari-hari adalah sesuatu yang bertahan dalam waktu dan bergerak dalm ruang. Tetapi bagi ilmu alam, relativitas pandangan tersebut tak dapat lagi dibenarkan. Sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam tetapi merupakan suatu sistem peristiwa, yang saling berhubungan. Yang semula dianggap sifat padat dari benda-benda sudah tidak ada lagi, dan juga sifat-sifat yang menyebabkan materi di mata seorang materialisme nampak lebih nyata daripada kilasan pikiran, juga tidak ada lagi. Alla SWT berfiman:

“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka tidak mempunyai Pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menduga-duga saja”. (Q.S: Al-Jaasiyah, 45:24)

2. Pencarian Manusia terhadap Agama

Akal yang sempurna akan senantiasa menuntut kepuasan berpikir. Oleh karena itu, pencarian manusia terhadap kebenaran agama tak pernah lepas dari muka bumi ini. Penyimpangan dari sebuah ajaran agama dalam sejarah kehidupan manusia dapat diketahui pada akhirnya oleh pemenuhan kepuasan berpikir manusia yang hidup kemudian. Nabi Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan bagaimana manusia mempertuhankan benda-benda mati di alam ini seperti patung, matahari, bulan, dan bintang. Demikian pula Nabi Muhammad SAW, pada akhirnya memerlukan tahannus karena jiwanya tak dapat menerima aturan hidup yang dikembangkan masyarakat Quraisy di Mekkah yang mengaku masih menyembah Tuhan Ibrahim. Allah berfiman;

”Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberi petunjuk”. ( Q.S: Ad-Dhuhaa, 93:7)

Seiring dengan sifat-sifat mendasar pada diri manusia itu Alqur’an dalam sebagian besar ayat-ayatnya menantang kemampuan berpikir manusia untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana yang dibawa dalam ajaran islam. Keteraturan alam dan sejarah bangsa-bangsa masa lalu menjadi obyek yang dianjurkan untuk dipikirkan. Perbandingan ajaran antar berbagai agama pun diketengahkan Alqur’an dalam rangka mengokohkan pengambilan pendapat manusia.

Akibat adanya proses berpikir ini, baik itu merupakan sebuah kemajuan atau kemunduran, terjadilah perpindahan (transformasi) agama dalam kehidupan manusia. Tatkala seseorang merasa gelisah dengan jalan yang dilaluinya kemudian ia menemukan sebuah pencerahan, maka niscaya ia akan memasuki dunia yang lebih memuaskan akal dan jiwanya itu. Ketenangan adalah modal dasar dalam upaya mengarungi kehidupan pribadi. Padahal masyarakat itu adalah kumpulan pribadi-pribadi. Masyarakat yang tenang, bangsa yang cerah sesungguhnya lahir dari keputusan para anggotanya dalam memilih jalan kehidupan. Allah berfirman:

”Orang-orang kafir berkata: ”Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Katakanlah: Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepada-Nya. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. ( Q.S: Ar-Ra’d, 13:27-28)

3. Konsistensi Keagamaan

Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas secara benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang dapat menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura. Meskipun demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya temporal atau aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap konsisten seseorang terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap agama yang dipeluknya. Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya membentuk sebuah pandangan hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah persoalan yang mudah. Di antara langkah-langkahnya adalah;

a. Pengenalan

Seseorang harus mengenal dengan jelas agama yang dipeluknya, sehingga bisa membedakannya dangan agama yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pokok dan cabang yang terdapat dalam sebuah agama. Jika ada orang yang menyatakan bahwa ”semua agama itu sama”, maka hampir dipastikan bahwa ia sebenarnya tak mengenali agama itu satu persatu.

b. Pengertian

Ajaran agama yang dipeluk pasti memiliki landasan yang kuat, tempat dari mana seharusnya kita memandang. Mengapa suatu ajaran diajarkan, apa faedahnya untuk kehidupan pribadi dan masyarakat, apa yang akan terjadi jika manusia meninggalkan ajaran tersebut dan lain-lainnya, ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan mengantarkan kita kepada sebuah pengertian. Seseorang yang mengerti ajaran agamanya akan dengan mudah mempertahankannya dari upaya-upaya pengacauan orang lain. Ia juga dapat menyiarkan ajaran agamanya dengan baik dan bergairah.

c. Penghayatan

Penghayatan terhadap suatu agama lebih tinggi nilainya daripada sekedar pengertian. Ajaran yang hidup dalam dan menjadi sebuah kecenderungan yang instingtif mencerminkan tumbuhnya sebuah kesatuan yang tak terpisahkan antara agama dan kehidupan. Interaksi seseorang terhadap ajaran agamanya pada fase ini tidak sekedar dengan pikirannya tetapi lebih masuk ke relung-relung hatinya. Dengan penghayatan yang dalam seseorang dapat mengamalkan ajaran agamanya, melahirkan keyakinan atau keimanan yang mendorongnya untuk melaksanakan agama dengan tulus ikhlas.

d. Pengabdian

Seseorang yang tidak lagi memiliki ambisi pribadi dalam mengamalkan ajaran agamanya akan dapat memasuki pengabdian yang sempurna. Kepentingan hidupnya adalah kepentingan agamanya, tujuan hidupnya adalah tujuan agamanya, dan jiwanya adalah warna agamanya. Orang yang memilki fase bagaikan sudah tidak memilki diri lagi, karena demikianlah hakikat penghambaanyaitu . Fase penghambaan ini disebut ibadah, yaitu penyerahan diri secara total dan menyeluruh kepada Tuhannya. Penghambaan ini akan menjelmakan pengamalan cara ibadah tertentu (ritual, mahdhah)dan meletakkan seluruh hidupnya dibawah pengabdian kepad Tuhannya (ghair mahdah)

e. Pembelaan

Apabila kecintaan seseorang terhadap agamanya telah demikian tinggi, maka tak boleh ada lagi perintang yang menghalang jalannya agama. Rintangan terhadap agama adalah rintangan terhadap dirinya sendiri, sehingga ia akan segera melakukan pembelaan. Ia rela mengorbankan apa saja yang ada pada dirinya harta benda bahkan nyawa, bagi nama baik dan keagungan agama yang dipeluknya. Pembelaan ini juga disebut jihad, yaitu suatu jiwa yang sungguh-sungguh dalam membela agamanya.

Itulah makna konsistensi keagamaan seseorang yang tampak pada jalankehidupannya. Sejarah mencatat fenomena ini dalam berbagai agama dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia. Para pahlawan muncul dalam berbagai bangsa. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman:

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. (Q.S: Al-Hujurat, 49:15)

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa agama, sangat perlu bagi manusia terutama bagi orang yang berilmu, apapun disiplin ilmunya. Karena dengan agama ilmunya akan lebih bermakna. Bagi kita umat islam, agama yang dimaksud adalah agama yang kita peluk yaitu agama islam.

Kenapa islam ?

Karena agama islam adalah agama akhir yang tetap mutakhir, agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentangdi alam semesta, dan memahami ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat didalam al-qur’an. Agama Islam adalah agama keseimbangan dunia dan akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan menurut sunnah Rasulullah SAW, Islam mewajibkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu pengetahuan mulai dari buaian sampai ke liang lahat : Minal mahdi ilal lahd, yang kemudian dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Life long Education yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia yaitu pendidikan seumur hidup, menuntut ilmu selama dikandung badan. Singkat kata, dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna. Dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia. Dalam masyarakat modern pun agama tetap diperlukan manusia.

Di kalangan cendekiawan muslim Indonesia ada pemikiran untuk memadukan ilmu dengan agama, mengendalikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan agama supaya manusia sejahtera.

Islam memiliki beberapa keistimewaan yang menjdi akidah umat di setiap masa, yaitu antara lain:

  1. Luwes, logis dan praktis

Islam bukanlah agama dongengan. Ajarannya luwes, jelas dan bisa di pahami. Islam tidak membenarkan adanya khurafat, tidak pula keyakinan-keyakinan yang mematikan akal dan membuat kejumudan intelektual, islam tidak membenarkan keyakinan yang bisa melenyapkan keimanan akan ke Esaan Allah SWT, risalah Muhammad SAW, dan kehidupan akhirat, yang semua itu menjadi dasar pokok akidah islamiah. Semua berdiri di atas dasar ”Akal pikiran yang sehat dan logika yang tepat dan pasti.” Islam menganjurkan manusia mempergunakan akal pikirannya dan merenungi segala perkaranya. Islam juga menganjurkan mengkaji dan mencari kebenaran (hakikat) dan berusaha keras mendapatkan ilmu pengetahuan (ma’rifat). Allah memerintahkan umat manusia memohon tambahan ilmu kepada Tuhannya, sebagaimana difirmankan:

”Dan katakanlah! Berikanlah aku tambahan ilmu”

(Q.S. Thahaa, 20:114)

Islam juga menjelaskan, betapa jauh perbedaan antara orang berilmu dan tidak berilmu. Allah berfirman:

”Apakah kamu lebih beruntung, hai orang musyrik ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam, dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada azab akhirat dan mengharaokan rahmat Tuhannya? Katakanlah! Samakah orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

(Q.S. Az-Zumar, 39:9)

Islam menyelamatkan manusia dari ajaran khurafat dan kebodohan. Islam membimbing manusia menuju dunia ilmu pengetahuan dan cahaya yang terang-benderang. Dalam hal itu islam adalah agama yang praktis, bukan hanya merupakan teori kosong yang mandul. Isla menegaskan, bahwa iman itu bukanlah kepercayaan semata yang harus diimani umat manusia, tetapi islam menegaskan, agar iman itu dijadikan sumber pancaran kehidupan konkret, menjalar kepada seluruh amal perbuatan islami, bagai mengalirnya air ke dalam sel-sel makhuk hidup. Karena itu maka iman kepada Allah, menuntut pelaksanaan perintah-Nya. Maka islam bukan semata-mata merupakan ungkapan kata dan penuturan lidah melalui pembacaan zikir kepada Allah, memuji dan menyanjung-Nya, tetapi seluruh kehidupan manusia secara total itulah yang harus diislami. Karena itu Allah SWT berfirman:

”Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik.”

(Q.S. Ar-Ra’d, 13:29)

  1. Islam Tatanan Lengkap untuk Kehidupan

Islam bukanlah agama yang efisiensinya hanya dalam kehidupan individu semata, sebagaimana yang digambrkan oleh kebanyakan orang. Akan tetapi, islam adalah suatu tatanan lengkap untuk kehidupan umat manusia, didalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan

1 komentar: